1

BUDAYA BERPACARAN DALAM PERSPEKTIF PSIOLANALISA


KBUDAYA BERPACARAN DALAM PERSPEKTIF PSIOLANALISA/span>

Dewasa ini, para remaja dihadapkan pada sebuah kondisi yang membuat bahwa mempunyai seorang pacar adalah sebuah keharusan. Kondisi yang membuat sebagian orang terasa begitu tertekan karena ketika tidak mempunyai pasangan menjadi seorang yang tertekan oleh keadaan sekitar, baik itu dikarenakan oleh semacam ledekan atauapun hal-hal lain semacamnya bahwa ketika tidak mempunyai seorang pacar dianggap tidak normal baik itu pihak perempuan sendiri ataupun pihak laki-laki.
Apabila melihat kondisi yang semacam ini telah menjadi sebuah “trend setter” baru dimana mempunyai pacar adalah hal yang membanggakan dan dianggap sebuah hal yang menjadi kemestian, benarkah semua itu?

Belum lagi apabila melihat sinetron-sinetron dan film-film di Indonesia, sekarang ini cerita – cerita yang ditampilkan pasti bercerita tentang hal-hal tersebut, saling bererbut pasangan, cinta tak sampai dan lain-lain yang ending nya sudah bisa ditebak dan garing. Juga dengan eksploitasi terhadap anak-anak dibawah umur yang harus menampilkan adegan-adegan berpacaran. Mungkinkah itu wajah asli kebudayaan indonesia?

Dampak yang paling banyak dilihat langsung secara empiris, bahwasanya angkan kehamilan diluar nikah di negara ini semakin hari semakin banyak, shingga banyak praktik-praktik aborsi bermunculan, yang membuat saudara-saudara kita, ataupun tetangga-tetangga kita tiba-tiba kita dengar telah menikah secara tiba-tiba dan beberapa vulan kemudian telah melahirkan padahal jarak dari pernikahan nya belum terlalu lama.
Dilihat dari sebuah sudut pandang psikoanalisa Sigmun Freud - yang menyatakan bahwa manusia mempunyai dua alam yaitu alam sadar dan alam bawah sadar – dan semua hal-hal yang ter-ejawantahkan kedalam sebuah tindakan berasal dari alam bawah sadar sana. Maka sebetulnya manusia-manusia yang menyatakan bahwa mempunyai seorang pasangan (pacar-red) adalah sebuah keharusan maka benarkah hal tersebut murni berasal dari budaya kita atau tindakan-tindakan yang itu tuh murni menurut kita benar? Ataukah kita secara tidak sengaja mendapatkan serangan kepada alam bawah sadar kita oleh susupan media barat yang menjadikan kita merasa harus mempunyai seorang pacar disaat kita masih belum mempunyai kerjaan misalnya?
Kalo kita bisa menelaah lebih lanjut misalnya kedalam kebudayaan kita – budaya ketimuran – yang bercampur dengan budaya Islam khususnya, ternyata kita tidak melihat akar yang jelas dari kebudayaan itu. Artinya kebudayaan tersebut bukanlah kebudayaan asli indonesia, dan ketika bukan budaya asli indonesia, maka pasti ada agen-agen yang telah menyusupkan budaya tersebut ke dalam budaya indonesia yang bertujuan merusak remaja-remaja indonesia, sehingga banyak remaja-remaja di Indonesia yang notabene harapan bangsa ini hancur, maka setelah itu, niatan mereka menguasai indonesia dengan mudah akan bisa dilaksanakan dengan mudah tanpa harus melakukannya dengan perang, cukup dengan merusak remaja-remaja nya.
Tidakah kita sadar bahwa serangan-serangan tersebut sudah menjalar kedalam berbagai kebudayaan kita, sehingga budaya America dan Barat masuk dan menjadi budaya Bangsa ini. Kapan kita akan sadar? Itu semua tergantung anda semua.
0

Konsep TFI



KONSEP KE-ARIF-AN LOKAL

DALAM PENGEMBANGAN POLA PERKADERAN (TFI)





Pendahuluan

Himpunan Mahasiswa Islam merupakan Organisasi Perkaderan yang sudah terbukti dan diakui sebagai Organisasi Pencetak banyak Kader Bangsa yang menjadi Tokoh. Keberadaan HMI sebagai Organisasi ditingkat Mahasiswa memang menjadi sebuah keuntungan tersendiri dimana para anggota / kader nya merupakan orang-orang intelektual muda yang masih penuh dengan gairah dan darah yang meledak-ledak, menjadikan organisasi ini penuh dengan ide-ide brilian dan cemerlang khas anak muda juga segar dengan pemenuhan kebutuhan Intelektual bagi mereka yang sedang giat-giat nya mencari ilmu dan pengetahuan.


HMI dirasa sudah mencapai tahap dan tingkatan bisa memenuhi dahaga Intelektual untuk para Kader nya. Para Kader HMI selain mereka paham akan Bidang Ke-ilmu-an nya masing-masing, juga bisa mendapatkan pengetahuan di luar bidang akademis mereka di kampus. Apalagi jika melihat track record yang telah dibuat oleh para senior dan alumni HMI yang telah banyak sukses dengan bergelut di bidang Politik praktis menjadikan HMI ini seolah-olah sebagai “Sekolah Politik” yang paling murah dan paling hebat dalam mencetak kader-kader nya, sehingga yang terjadi adalah para kader HMI ini adalah para kader yang dicetak dalam suasana Perkaderan Politik, yang membuat satu sama lain diantara para Anggota HMI menjadi senang untuk ber-konflik satu sama lainnya. Di satu sisi, sebuah konflik adalah alat untuk membuat sebuah Organisasi menjadi cepat dewasa dalam pola pemikiran, namun konflik yang terjadi antara kader HMI adalah konflik kepentingan dimana konflik tersebut muncul karena adanya “kepentingan” para senior dan alumni demi mempertahankan “gerbong” kekuasaan nya.


Sehingga sebuah Orientasi dari perkaderan di HM seperti pelatihan LK I, II, dan III hanyalah digunakan sebagai syarat untuk kepentingan moment-moment politik seperti kepentingan RAK, KONFERCAB, MUSDA, dan juga KONGRES,

Suasana dan kultur seperti inilah yang membuat HMI menjadi semakin mundur. Karena proses pembinaan para kader HMI dimulai oleh sebuah Perkaderan Politik bukan Poltik Perkaderan. Kuktur politik ini membuat kultur Intelektual di HMI menjadi semakin pudar, apalagi dengan kultur dan suasana ke-islam-an nya, HMI menjadi semakin memudar. Sehingga menjadi wajar saja apabila HMI dituduh sebagai Organisasi Sekuler oleh Organisasi Ke-Mahasiswa-an yang lain.

Konsep Perkaderan Berbasis Ke-Arif-an Lokal

Sebuah perkaderan di HMI tidak akan pernah bisa disamakan dalam berbagai hal. Kondisi masing-masing Cabang sangat mempengaruhi sekali karakteristik perkaderan di HMI. Apabila Cabang yang bersangkutan lebih condong kepada arah Politik, maka seara tidak langsung paradigma yang terbangun adalah paradigma politik, dimana kader yang tercipta adalah kader yang pragmatis, oportunis, dan berpikir materialis sehingga berani melacurkan organisasi ini demi kepentingan pribadi.

Akan tetapi lain hal nya apabila sebuah Perkaderan di Hmi ini dimulai dengan sebuah penggemblengan Intelektual dimana kader dibina dengan berdasarkan kepada sebuah paradigma perkaderan yang di dasarkan kepada konsep perkaderan intelektual dan spiritual berdasarkan konsep ke-arif-an lokal.

Hal ini tidak akan bertolak belakang dengan pola pembinaan kader, karena sebetulnya sebuah perkaderan ketika hanya berdasarkan kepad format perkaderan yang baku tanpa mempertimbangkan nilai-nilai Ke-arifan Lokal sebuah Cabang, maka kader yang dihasilkan dari proses perkaderan hanyalah kader yang tidak memiliki sebuah nilai sensitif local area atau sensitifitas terhadap keadaan sekelilingnya. Maka perkaderan di HMI ini tidak bisa dipukul secara rata secara konsep dan prkatik nya, karen secara kultur ke-wilayahan HMI ini berada di berbagai daerah yang berbeda dan dengan karakteristik daerah yang berbeda, sebagai contoh sebuah Latihan Kader I (Basic Training) di Daerah Papua tidak akan bisa di samakan dengan Format Perkaderan di Aceh misalnya.

Bagaimana sebenarnya sebuah konsep perkaderan yang berdasarkan konsep ke-arif-an lokal itu? Sebuah Cabang ini berada dalam sebuah wilayah kabupaten atau kota di Indonesia ini. Setiap Kota atau Kabupaten ini pasti memiliki sebuah nilai-nilai luhur yang menjadi sebuah ciri khas dalam suasana perwujudan kebudayaan dan kemasyarakatannya. Inilah yang disebut dengan Ke-arif-an Lokal. Artinya orang-orang yang menjadi Kader HMI ini adalah Kader-kader yang dibangun oleh karakter, kultur dan suasana di wilayah Kota/Kabupaten tersebut. Menjadikan Sebuah nilai-nilai karakter, kultur, dan suasana di wilayah tersebut menjadi sebuah basis pengkuatan paradigma kader adalah hal yang bagus untuk kondisi kader tersebut.

Suasana ini adalah hal-hal yang terbangun dengan menggunakan metode pendekatan diantara seorang kader yang telah menjadi senior dengan kader yang lebih junior tanpa membedakan posisi nya pada saat tersebut. Feodalisme itu terbangun karena diantara Kader lama dan kader baru “diciptakan” sebuah jarak yang seharusnya tidak ada. Keberadaan seorang senior adalah karena siapa yang duluan masuk ke HMI saja.

Sekeping Solusi Pembangun.

Sebuah Cabang yang peka terhadap keberlangsungan sebuah perkaderan yang bagus, akan menanamkan nilai-nilai yang berbeda dengan kondisi nilai yang lain di tiap-tiap cabang, dan hal ini memang terjadi dikarenakan kondisi lingkungan, geografis, serta masyarakat secara jelas berbeda sekali. Maka dari itu, dalam garis besar nya sebuah perkaderan harus dimulai dengan mengutamakan konsep perkaderan berbasis ke-arif-an lokal bukan penyamarataan seperti yang terjadi di dalam sistem pendidikan negara indonesia.

Dilihat dari satu aspek, sebuah perkaderan yang berbasis pada ke-arif-an lokal akan menjadi lebih berbobot dan mempunyai nilai ke-istimewa-an yang lebih jika ditambahkan dengan sebuah sentuhan cinta dan kasih. Karena sebuah proses perkaderan yang baik bukan dibuat dengan sentuhan premanisme dan feodalisme tapi berdasarkan kepada nilai-nilai cinta dan kasih sayang yang baik, tetapi bisa diterjemahkan dengan sederhana tanpa mengurangi isi.

Ada sebuah konsep yang menaungi hal tersebut, dimana dalam penyelenggaraan nya HMI Cabang Subang menamai konsep tersebut dengan konsep Training Formulasi Identitas (TFI) yang mempunyai lima (5) jenjang.

Dalam konsep ini, para kader HMI nantinya diharapkan bisa menjadi kader konseptor-konseptor baik di wilayah internal yang mengurusi bidang pendidikan, perkaderan, dan pembinaan anggota, ataupun di wilayah eksternal HMI sebagai kontrol sosial tanpa ‘terjerat” leh aspek-aspek pragmatis sosial kemasyarakatan.

Sehingga diarapkan kedepannya para kader HMI ini yang menjadi Kader Bangsa dan Kader Umat ini akan bisa mengemban misi Organisasi HMI yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Amin.....

 

Translate

Search This Blog